TERBITHARIAN.COM
KHUTBAH JUM’AT
12 Syawal 1446 H / 11 April 2025 M
Oleh Dr H. Muhammad Soleh Hapudin, M.Si
QUANTUM RAMADHAN:
LONJAKAN SPIRITUAL YANG HARUS DIPERTAHANKAN
اَلسَّلَامُ عَليْكُمْ وَرَحْمَةاُللّٰهِ وَبَرَكَاتُهُ
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَسْتَهْدِيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللّٰهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللّٰهُ لَهُ نُوْرًا فَمَا لَهُ مِنْ نُوْرٍ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ أَدَّى الْأَمَانَةَ، وَبَلَّغَ الرِّسَالَةَ، وَنَصَحَ الْأُمَّةَ، وَجَاهَدَ فِي اللّٰهِ حَقَّ جِهَادِهِ، اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ عَلَيْهِمْ تَسْلِيمًا كَثِيرًا.
أما بعد. فَيَآعِبَادَ اللّٰهِ أُوْصِيْكُمْ وَاِيَّايَ بِتَقْوَى ا للّٰهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. قَالَ تَعَالٰى أَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ: يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ تَتَّقُوا اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّكُمْ فُرْقَانًا وَّيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّاٰتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْۗ وَاللّٰهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيْمِ
Para Jamaah Shalat Jumat yang Allah Rahmati
Mengawali khutbah hari ini,khatib berwasiat kepada hadirin sekalian wabilkhusus untuk diri pribadi marilah kita senantiasa bertaqwa kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya taqwa dengan senantiasa melaksanakan semua yang diperintahkan oleh Allah SWT dan menjauhkan diri kita dari semua yang dilarang oleh-Nya.
Bulan Ramadhan telah berlalu dengan segala kenangan dan kekhusuan kita beribadah di dalamnya dengan berharap kiranya semua amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT serta kita dapat dipertemukan lagi dengan Ramadhan di tahun yang akan datang sehingga kita dapat melakukan ritual ibadah di bulan yang penuh keberkahan itu.
Para Jamaah Shalat Jumat yang berbahagia
Ramadhan bukan sekadar bulan yang dipenuhi ibadah ritual, tetapi adalah ruang waktu yang Allah sediakan untuk terjadinya sebuah transformasi besar dalam diri manusia. Dalam bahasa fisika modern, ini disebut sebagai “quantum leap” yakni lompatan energi yang dahsyat, bukan linier dan perlahan, tetapi drastis dan signifikan.
Dalam konteks ruhani, Ramadhan memberikan peluang untuk melakukan lompatan spiritual meninggalkan kondisi stagnan dan malas dalam ibadah, menuju semangat dan gairah beribadah secara konsisten. Hal ini terlihat dari peningkatan intensitas ibadah umat Islam dalam sebulan:
shalat tarawih, qiyamul lail, tadarus Al-Qur’an, infaq, dzikir, serta pengendalian diri yang jauh lebih baik. Allah menegaskan tujuan besar dari ibadah puasa di bulan Ramadhan dalam Al-Qur’an:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Kata “لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ” (agar kamu bertakwa) menunjukkan bahwa puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi merupakan proses tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), pembentukan kontrol diri (mujahadah), dan pelejit kualitas spiritual (taqarrub ilallah).
Taqwa adalah hasil akhir dari lompatan spiritual itu—dimana hati menjadi lembut, pikiran menjadi jernih, dan perbuatan menjadi lurus.
Al-Qur’an menegaskan bahwa orang yang bertakwa, yang salah satu jalurnya dicapai melalui puasa, akan mendapatkan kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan salah:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ تَتَّقُوا اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّكُمْ فُرْقَانًا وَّيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّاٰتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْۗ وَاللّٰهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيْمِ
(“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian furqan (kemampuan membedakan antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al-Anfal: 29)
Ayat ini mengindikasikan bahwa ketakwaan yang merupakan buah dari puasa Ramadhan akan menghasilkan furqān, yakni kecerdasan spiritual dan rasionalitas ilahiah. Dalam konteks ini, rasionalitas tidak lagi bersifat sekuler-instrumental, melainkan bercorak transendental, di mana nalar tunduk pada kehendak Ilahi dan berfungsi sebagai instrumen untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.
Maka, puasa menjadi jalan untuk membersihkan dimensi batin agar pantas menjadi wadah turunnya nur (cahaya) Allah dalam bentuk hikmah dan pemahaman yang mendalam. Lebih dari itu, Ramadhan menciptakan ekosistem spiritual yang sangat kondusif.
Para Jamaah Shalat Jumat yang Allah Rahmati. Meskipun Ramadhan memberikan efek lonjakan spiritual yang dahsyat, ironisnya banyak umat Islam mengalami degradasi keimanan setelah bulan suci itu berlalu. Fenomena ini menunjukkan adanya masalah dalam kontinuitas spiritual. Seperti halnya dalam teori kuantum, lonjakan energi yang tidak ditransformasikan secara stabil akan kembali ke keadaan awal atau bahkan lebih rendah. Begitu pula dengan iman manusia ia dapat mengalami fluktuasi, naik dan turun, tergantung pada interaksi, lingkungan, dan upaya penguatan iman yang dilakukan secara sadar dan konsisten.
Secara psikologis dan sosiologis, Ramadhan memberi stimulus kolektif berupa peningkatan spiritual secara massal. Salat berjamaah menjadi lebih semarak, majelis ilmu dihidupkan, sedekah menjadi budaya, bahkan suasana malam dihiasi dengan bacaan Al-Qur’an dan tarawih. Namun setelah Ramadhan usai, lingkungan tidak lagi mendukung: jamaah salat kembali sepi, tilawah berkurang, dan budaya saling mengingatkan kebaikan memudar. Ini menjadi sebab utama meredupnya ruh Ramadhan. Maka dalam konteks ini, pertanyaan penting yang harus dijawab oleh setiap Muslim adalah: Bagaimana mempertahankan lonjakan spiritual Ramadhan di luar Ramadhan?
Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā mengingatkan kita agar tidak menjadi seperti seorang wanita yang membatalkan kembali tenunan yang telah dikerjakan dengan susah payah. Firman-Nya:
وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّتِيْ نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْۢ بَعْدِ قُوَّةٍ اَنْكَاثًاۗ تَتَّخِذُوْنَ اَيْمَانَكُمْ دَخَلًا ۢ بَيْنَكُمْ اَنْ تَكُوْنَ اُمَّةٌ هِيَ اَرْبٰى مِنْ اُمَّةٍ ۗاِنَّمَا يَبْلُوْكُمُ اللّٰهُ بِهٖۗ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ مَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَ
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan kembali benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai-berai kembali.”………….. (QS. An-Nahl: 92)
Ayat ini memberikan analogi yang sangat tepat bagi orang yang telah bersusah payah membangun kekuatan ruhiyah selama Ramadhan, namun setelah itu justru merusaknya sendiri dengan kelalaian dan kembali kepada kebiasaan buruk. Sikap ini adalah bentuk ketidakkonsistenan dalam ubudiyyah (peribadahan) dan kontradiktif dengan semangat istiqamah yang merupakan buah utama dari taqwa.
Nabi Muhammad Shallallāhu ‘Alaihi Wasallam pun mengajarkan agar kita senantiasa istiqamah dalam ibadah, tidak hanya semangat di awal lalu meninggalkannya di akhir. Dalam sebuah hadis disebutkan:
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللّٰهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang terus-menerus dilakukan, meskipun sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan pentingnya kontinuitas dalam ibadah, termasuk pasca Ramadhan. Jangan sampai kita menjadi hamba Ramadhan yang hanya rajin beribadah karena Ramadhan bukan hamba Allah yang beribadah karena cinta dan ketaatan kepada-Nya sepanjang masa.
Menjaga kesinambungan spiritual setelah Ramadhan membutuhkan strategi yang bersifat sistematis dan berkelanjutan. Sebagaimana dalam prinsip dasar pengembangan diri (self-development), perubahan yang ingin dipertahankan harus ditopang oleh sistem, rutinitas, serta lingkungan yang kondusif. Ramadhan mengajarkan kita disiplin waktu, pengendalian diri, peningkatan kualitas ibadah, dan kepekaan sosial. Namun semua itu akan menjadi sia-sia jika setelah Ramadhan kita tidak menyusun strategi untuk menjadikannya sebagai habitus, bukan sekadar momen temporer.
Para Jamaah Shalat Jumat yang Allah Rahmati.
Lonjakan spiritual yang diperoleh selama bulan Ramadhan sejatinya bukan hanya bersifat individual, tetapi juga memiliki dimensi sosial yang luas. Spirit Ramadhan yang sarat dengan nilai-nilai ibadah, kedisiplinan, solidaritas sosial, kejujuran, serta kasih sayang kepada sesama, harus direfleksikan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘ālamīn mengajarkan bahwa ibadah ritual tidak boleh terpisah dari tanggung jawab sosial. Maka, keberhasilan seseorang dalam menjalani Ramadhan dapat diukur dari sejauh mana ia menerapkan nilai-nilai spiritual tersebut dalam memperkuat kehidupan sosial dan membangun peradaban.
Salah satu nilai sosial yang sangat ditanamkan dalam Ramadhan adalah kepekaan terhadap kaum dhuafa dan marginal. Melalui kewajiban zakat fitrah dan anjuran memperbanyak sedekah, umat Islam dilatih untuk lebih peduli dan empatik terhadap kondisi sosial.
Oleh karena itu, Quantum Ramadhan bukan hanya soal intensitas ibadah, tapi bagaimana lonjakan spiritual itu menghasilkan energi sosial yang membangun, memperkuat persatuan, memperluas keadilan, serta menciptakan masyarakat yang damai dan penuh kasih. Jika setiap Muslim mampu membawa nilai Ramadhan dalam kehidupannya, niscaya akan terwujud masyarakat madani yang menjadi cermin rahmat Islam bagi semesta alam.
Para Jamaah Shalat Jumat yang Allah Rahmati.
Setelah sebulan penuh kita ditempa dalam madrasah Ramadhan, kita diingatkan bahwa hakikat kemenangan bukanlah berakhirnya puasa, melainkan berlanjutnya amal saleh dan peningkatan kualitas iman dalam setiap fase kehidupan. Jangan jadikan Ramadhan hanya sebagai kenangan, tetapi transformasikan menjadi lompatan spiritual yang berkesinambungan. Jadikan setiap bulan selepas Ramadhan sebagai lanjutan dari semangat ibadah, bukan keterpurukan.
Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā berfirman dalam surah An Nahl ayat92 :
وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّتِيْ نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْۢ بَعْدِ قُوَّةٍ اَنْكَاثًاۗ ….
“Dan janganlah kamu seperti perempuan yang mengurai kembali benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali.”
Ayat ini menjadi pengingat mereka yang beramal penuh semangat di Ramadhan, namun mengurainya kembali setelahnya. Maka, jangan biarkan nilai-nilai spiritual yang telah kita rajut selama Ramadhan hancur begitu saja karena kelalaian kita.
Dengan demikian, Ramadhan bukan hanya ruang waktu ibadah, melainkan juga medan transformasi diri. Ia adalah universitas ruhani yang melatih jiwa untuk menjadi lebih taat, lebih ikhlas, dan lebih terhubung dengan Allah SWT. Maka, sudah seharusnya umat Islam menjadikan Ramadhan sebagai titik tolak perubahan, bukan sekadar fase temporer, tetapi sebagai awal dari perjalanan spiritual yang berkelanjutan.
Semoga Allah mengokohkan kita dalam jalan-Nya dan memberi kemampuan untuk mempertahankan lonjakan iman dan taqwa yang telah kita raih selama Ramadhan.
بَارَكَ اللّٰه لِيْ وَلَكُمْ فِى الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْاٰيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ ، أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذاَ وَأَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْاهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ