Topeng di Wajah: Mengurai Alasan Wanita Sering Berpura-pura ‘Baik-Baik Saja’

TERBITHARIAN.COM – Dalam sebuah percakapan sehari-hari, pertanyaan paling klise dan sering diabaikan adalah, “Apa kabar?” Jawabannya, hampir seragam, adalah “Baik.” Namun, di balik respons singkat ini, tersembunyi sebuah fenomena psikologis dan sosial yang mendalam, terutama pada kaum wanita. kebiasaan berpura-pura ‘baik-baik saja’ saat badai emosional sebenarnya sedang terjadi.

Mengapa banyak wanita memilih mengenakan topeng keceriaan, menyembunyikan kelelahan, kesedihan, atau kecemasan di balik senyum yang meyakinkan? Jawabannya tidak sesederhana kurangnya kejujuran, melainkan melibatkan jalinan kompleks antara tekanan sosial, harapan budaya, dan mekanisme pertahanan diri.

Salah satu akar masalah terbesar adalah ekspektasi sosial yang menuntut perempuan untuk menjadi tiang penopang baik dalam keluarga, pekerjaan, maupun lingkungan sosial. Figur “Strong Woman” atau wanita tangguh diidealkan.

Sikap ini secara tidak langsung mengirimkan pesan bahwa kerentanan adalah sebuah kelemahan. Ketika seorang wanita merasa tertekan atau sedih, ia khawatir dicap cengeng, sensitif berlebihan, atau bahkan tidak kompeten. Akhirnya, demi mempertahankan citra sebagai individu yang mandiri dan mampu mengatasi segalanya, ia memilih untuk menyimpan luka batinnya sendiri.

Alasan praktis lain adalah ketakutan untuk merepotkan atau membebani orang lain. Banyak wanita terprogram untuk menjadi pengasuh (caregiver), individu yang selalu memberikan dukungan. Ketika mereka berada dalam kesulitan, muncul rasa bersalah karena membalik peran dan memaksa orang lain untuk mengurus mereka.

Mereka juga sering kali menghindari drama. Mengakui bahwa ada masalah sering kali terjadi berarti memicu diskusi yang panjang, air mata, dan perhatian yang tidak diinginkan. Dengan berkata “Baik-baik saja,” mereka berharap bisa kembali pada rutinitas yang nyaman.

Meskipun kesadaran akan kesehatan mental terus meningkat, stigma sosial masih sangat kuat. Mengakui bahwa mereka sedang tidak baik-baik saja sering kali disamakan dengan mengakui memiliki masalah psikologis atau gangguan mental.

Wanita khawatir pengakuan ini akan mempengaruhi karir, hubungan, atau bagaimana mereka dilihat oleh masyarakat. Daripada mengambil risiko negatif, mereka memilih untuk mempertahankan citra normalitas di mata publik, bahkan jika itu harus dibayar mahal oleh kesehatan mental mereka sendiri.

Secara psikologis, berpura-pura ‘baik-baik saja’ bisa menjadi mekanisme coping atau pertahanan diri. Terkadang, ketika situasinya terasa terlalu berat atau rumit, seorang wanita akan memilih menyangkal perasaannya sendiri sebagai cara untuk mempertahankan kontrol.

Dengan mengendalikan respons luarnya, ia merasa memiliki kendali atas kekacauan batinnya. Ini adalah cara cepat untuk menghindari menghadapi emosi yang menyakitkan atau situasi yang tidak mampu ia selesaikan saat itu juga.

Wanita kadang juga sering pura-pura terlihat bahagia. Kebiasaan ini, meskipun bertujuan untuk melindungi, justru membawa dampak serius. Kerapuhan emosional yang tersembunyi dapat bermanifestasi menjadi stres kronis, kecemasan, depresi, hingga masalah fisik seperti sakit kepala atau insomnia.

Emosi yang terpendam tidak hilang, mereka menumpuk dan meledak di waktu yang tidak terduga, atau mengikis kualitas hidup secara perlahan.

Saatnya bagi masyarakat untuk menciptakan ruang yang aman, di mana jawaban jujur atas “Apa kabar?” disambut dengan empati, bukan dengan penghakiman atau saran yang tidak diminta.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *