TERBITHARIAN.COM — Setiap 1 Oktober, jam dinding seolah berputar mundur, kembali ke masa kelam tahun 1965. Di balik perayaan Kesaktian Pancasila, terukir kisah pengkhianatan dan pengorbanan yang meneguhkan bahwa ideologi bangsa ini tak tergantikan. Enam puluh tahun berlalu, kini tongkat estafet itu berpindah tangan. Bukan lagi kepada para veteran yang gagah berani, melainkan kepada para pemuda yang berinteraksi dengan dunia lewat layar ponsel. Pertanyaannya, bagaimana generasi milenial dan Gen Z ini menjaga Pancasila tetap sakti di era yang penuh turbulensi digital?
Di sebuah sudut kafe kampus, seorang mahasiswi sibuk mengutak-atik laptopnya. Ia bukan sedang mengerjakan tugas kuliah, melainkan membuat desain grafis untuk kampanye toleransi di media sosial. “Dulu, ancaman datang dari bedil dan gerakan fisik. Sekarang, ancaman itu lebih senyap. Sering kali, bibit perpecahan muncul dari hoaks yang viral,” katanya, sambil sesekali menyeruput kopi.
Pemuda itu sadar bahwa perjuangan hari ini berbeda. Jika dulu harus mengangkat senjata, kini perjuangan ada di ruang-ruang digital.
Namun, tantangan yang dihadapi tidaklah kecil. Banjir informasi dari berbagai penjuru dunia sering kali membuat pemahaman nilai-nilai Pancasila menjadi dangkal. Budaya asing yang agresif masuk tanpa filter, dan narasi-narasi yang bertentangan dengan Pancasila mudah menyelinap melalui gawai. Banyak anak muda terjebak dalam dunia media sosial yang memecah belah, bukannya mempersatukan. Lebih dari itu, masalah-masalah konkret di lapangan seperti kesulitan ekonomi dan krisis kesehatan mental juga menjadi penghalang serius bagi mereka untuk fokus pada isu kebangsaan.
Data dari berbagai lembaga mencatat bahwa tingkat pengangguran di kalangan pemuda masih tinggi, bahkan mendominasi angka pengangguran secara nasional. Seiring dengan kondisi ekonomi yang sulit, banyak pemuda merasa terpinggirkan dan pesimis terhadap masa depan mereka. Keadaan ini diperparah dengan tingginya kasus masalah kesehatan mental yang dialami remaja dan pemuda, seperti depresi, yang membuat mereka cenderung mencari pelarian daripada terlibat dalam isu-isu politik atau ideologi. Alih-alih menyuarakan aspirasi, banyak yang justru memilih apati, merasa suaranya tidak didengar dan bahwa sistem politik yang ada tidak menawarkan solusi nyata bagi masalah yang mereka hadapi sehari-hari.
Di tengah pusaran masalah itu, ada juga yang memilih jalan lain. Di sebuah komunitas, sekelompok pemuda sedang merancang program pengabdian masyarakat. Mereka tidak hanya memfokuskan diri pada pembangunan fisik, tetapi juga pengembangan karakter dan potensi anak-anak desa. “Gotong royong itu bukan sekadar slogan. Kami ingin anak-anak ini melihat bahwa persatuan itu nyata, bukan cuma di buku pelajaran,” tutur pemuda salah satu koordinator komunitas. Ia dan teman-temannya percaya bahwa Kesaktian Pancasila harus diimplementasikan, bukan hanya diperingati. Mereka menjadi contoh bahwa pemuda bisa berperan sebagai agen perubahan yang konkret, dari level terkecil.
Peran pemuda tidak berhenti sampai di sana. Mereka juga harus terlibat aktif dalam pendidikan politik, memastikan setiap proses demokrasi berjalan sesuai koridor Pancasila. Dengan sifatnya yang terbuka terhadap ide-ide baru, pemuda memiliki keunggulan untuk mengemas Pancasila dalam format yang lebih modern dan menarik. Mengubah dogma menjadi konten kreatif yang mudah dicerna, itulah tantangannya.
Hari Kesaktian Pancasila bukan hanya tentang mengenang, tetapi juga tentang melanjutkan. Estafet sudah berpindah. Di tangan para pemuda, ideologi bangsa ini mendapatkan napas baru. Mereka adalah pewaris sejarah kelam, tetapi juga arsitek masa depan gemilang. Dengan pemahaman yang dalam dan implementasi yang nyata, serta menghadapi tantangan kekinian seperti pengangguran dan kesehatan mental, mereka membuktikan bahwa Pancasila tetap sakti, tidak hanya di atas kertas, tetapi juga di hati dan tindakan setiap warga negara.