TERBITHARIAN.COM – Di negeri yang katanya menjunjung tinggi hukum, ironi sering kali menjadi hal biasa. Salah satu ironi terbesar yang kembali mencuat adalah ketika mereka yang memiliki catatan atau kepentingan dalam kasus korupsi justru duduk di kursi pengadil, pembuat kebijakan, atau lembaga yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan. Pertanyaan pun muncul: ketika koruptor mengadili koruptor, apakah yang ditegakkan adalah keadilan atau justru kepentingan?
Fenomena ini bukan sekadar kebetulan. Dalam sistem politik dan hukum yang masih sarat dengan transaksi kekuasaan, proses penegakan hukum sering kali menjadi panggung sandiwara. Pelaku korupsi bisa saja dihukum, tetapi proses dan hasilnya kerap terasa seperti formalitas belaka lebih untuk menjaga citra daripada menegakkan moralitas.
Di beberapa kasus, publik menyaksikan bagaimana lembaga antikorupsi dipangkas kewenangannya, sementara aparat penegak hukum yang mestinya berintegritas justru terseret kasus serupa. Ketika para penegak hukum, hakim, atau politisi memiliki latar belakang atau jejaring yang saling terhubung dalam kepentingan ekonomi dan politik, objektivitas menjadi barang langka. Keputusan hukum bisa berubah menjadi alat tawar-menawar kekuasaan.
Keadilan yang seharusnya buta terhadap status sosial dan politik, kini seperti membuka satu mata melihat siapa yang duduk di kursi pesakitan dan siapa yang berada di balik layar. Dalam situasi seperti ini, rakyatlah yang paling dirugikan. Uang negara raib, kepercayaan publik terkikis, dan moral hukum merosot tajam.
Namun, di tengah kegelapan itu, masih ada harapan. Harapan pada masyarakat sipil, jurnalis independen, akademisi, dan generasi muda yang menolak untuk diam. Mereka yang percaya bahwa hukum bukan alat kepentingan, melainkan fondasi peradaban.
Keadilan tidak akan pernah hadir dari tangan yang kotor. Selama koruptor masih dibiarkan mengadili koruptor, selama kepentingan pribadi mengalahkan kebenaran, maka hukum akan terus menjadi sandiwara panjang tanpa akhir.






