TERBITHARIAN.COM – Di tengah gemerlapnya dunia animasi yang didominasi oleh fantasi dan petualangan, ada sebuah film yang berdiri sendiri sebagai pengingat akan realitas kelam perang. “Grave of the Fireflies” (火垂るの墓, Hotaru no Haka), sebuah film animasi Jepang tahun 1988 garapan sutradara Isao Takahata dari Studio Ghibli, bukan sekadar film anak-anak. Ia adalah sebuah mahakarya sinematik yang mengguncang emosi dan meninggalkan kesan mendalam bagi siapa pun yang menyaksikannya.
Film ini diadaptasi dari cerita pendek semi-otobiografi karya Akiyuki Nosaka yang terbit pada tahun 1967. Nosaka menulis kisah ini sebagai bentuk permohonan maaf pribadi kepada adik perempuannya yang meninggal karena malnutrisi pasca-Perang Dunia II. Kisah ini berlatar belakang di kota Kobe, Jepang, pada bulan-bulan terakhir Perang Pasifik. Film ini mengikuti perjalanan dua bersaudara, Seita (14 tahun) dan adik perempuannya yang berusia empat tahun, Setsuko.
Setelah serangan bom Amerika yang memporak-porandakan kota dan menewaskan ibu mereka, Seita dan Setsuko menjadi yatim piatu. Mereka berjuang untuk bertahan hidup di tengah kelaparan, ketidakpedulian masyarakat, dan kehancuran moral yang dibawa oleh perang. Mereka mencoba tinggal bersama bibi mereka, namun perlakuan bibi yang semakin dingin dan egois memaksa mereka untuk pindah ke tempat penampungan bom yang ditinggalkan.
Di tempat itulah, di tengah kegelapan dan keputusasaan, mereka menemukan kebahagiaan sesaat. Mereka menangkap kunang-kunang untuk menerangi malam. Adegan ikonik ini memberikan metafora yang pedih: kunang-kunang yang hidup hanya sebentar, sama seperti nyawa kedua anak itu. Setsuko yang bertanya mengapa kunang-kunang harus mati begitu cepat, seolah-olah menyuarakan pertanyaan penonton tentang takdir mereka.
“Grave of the Fireflies” dikenal sebagai salah satu film paling sedih dan “anti-perang” sepanjang masa. Namun, sutradara Takahata sendiri menolak label “anti-perang” secara eksplisit. Ia lebih memandang film ini sebagai sebuah “potret memori perang” dan kritik terhadap masyarakat Jepang yang, menurutnya, telah menjadi egois dan kurang berempati. Film ini tidak menyalahkan siapa pun, baik Amerika yang menjatuhkan bom maupun pemerintah Jepang yang memulai perang, melainkan menyoroti tragedi universal yang menimpa warga sipil, terutama anak-anak, yang tak bersalah.
Hingga hari ini, “Grave of the Fireflies” tetap menjadi film yang relevan dan sering diputar di Jepang, terutama di sekolah-sekolah, sebagai pengingat akan kengerian perang.
Film ini membuktikan bahwa animasi bukan hanya media untuk hiburan, tetapi juga dapat menjadi medium yang kuat untuk menyampaikan pesan kemanusiaan yang mendalam dan memilukan. Kisah Seita dan Setsuko adalah pengingat abadi bahwa di balik setiap konflik besar, ada cerita-cerita kecil tentang kehilangan dan ketidakberdayaan yang tak boleh dilupakan.