Jadi Pejabat, Apakah Masih Menggiurkan?

Jadi pejabat
Jadi pejabat

Oleh Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.*

TERBITHARIAN.COM – Bukan hanya tidak dihargai, aksi penjarahan rumah menteri keuangan Sri Mulyani bahkan telah menghilangkan wibawanya sebagai pejabat bertahun-tahun. Dirasa telah merugikan rakyat, kebijakan yang dikeluarkan terbukti telah membuka lebar kesempatan masyarakat luas mengenyam pendidikan melalui integrasi program kementerian keuangan dengan penyelenggara pendidikan seperti beasiswa LPDP.

Bikin terenyuh sampai tergerak naluri dan sanubari berbisik, kemuliaan seperti apa, atau kemudahan dan kebaikan apa yang hendak dicari dari cita-cita dunia bahkan yang termulia sekalipun, ketika suatu aksi berbalas kehancuran bertubi-tubi yang dialami tokoh berbarengan sang menteri?!

Suatu asumsi berlaku, bukan hanya tidak curang semisal korupsi, namun juga harus memahami keinginan masyarakat dan beretika yang pantas atau tidak boleh terkesan “pamer” atau “menguji” yang dirasa menantang mental orang lain. Namun, apakah menjadi pejabat menjadi sesuatu yang menyeramkan?

Jelas, posisi pejabat atau “an sich” dalam pemerintahan sebabnya tidak mungkin peran ini terabaikan dengan ketiadaan pejabat di sana atau diisi oleh orang-orang yang justru minim kompetensi. Maka dari itu, kesempatan bersama untuk membentuk pemerintahan lebih baik ke depannya kian terbuka.

Meski lebih ketat secara keseluruhan meliputi kompetensi, integritas yang jauh dari menciderainya seperti tindakan korupsi berikut etika sebagaimana dijelaskan menjadi penyaring bagi para (calon) pemangkunya.

Poin penting selanjutnya untuk disadari adalah peran pendidikan formal, adalah sejatinya merupakan usaha untuk membentuk kepribadian menjadi pemimpin atau pejabat (pemangku kebijakan).

Terlepas bentuk kredibilitas kepercayaan terhadapnya di masyarakat, secara resmi serta bukan sekedar penghargaan, gelar akademik menjadi legitimasi bagi seseorang akan kapasitas keilmuan yang bersamaan dengan itu melekat padanya hak dan kewajiban, termasuk kesempatan menjadi pejabat.

Sebagai suatu bentuk “kesepakatan bersama”, format tersebut di atas menjadi penting dalam jalannya kehidupan bernegara. Maka stabilitas atasnya penting untuk dijaga dan dihormati untuk ketertiban bersama. Meski termasuk pokok atau dasar, unsur ini penting untuk diperhatikan, tidak hanya dalam evaluasi namun juga dalam rangka merawat tumbuh kembang kehidupan bersama tersebut.

Optimisme ini dibangun bukan atas dasar sikap mendahului atau sekedar menasehati pembaca yang budiman, namun terutama terhadap diri sendiri untuk menjadi siap dan sedia menjemput masa depan tersebut. Sekali lagi, optimisme ini dibangun di atas kesungguhan, komitmen dan kehati-hatian yang sungguh.

Bukan klise, hikmah dari kejadian demi kejadian dewasa ini merupakan pelajaran paling berharga dalam bernegara. Maka harapan beriring dengannya adalah kenyataan yang lebih baik untuk kehidupan bersama. Tidak hanya, berdasar pada ketekunan pada bidang tertentu yang mungkin bisa jadi telah dikuasai, namun harapan akan para pemangku kebijakan yang berkepribadian secara sungguh berintegritas.

Ketakutan dan kerusakan mental tentu bukan tujuan hidup yang baik namun keberanian dan harapan adalah kuncinya. Menjadi besar dan kuat serta teguh sebagai bangsa.

Terbuka dan tetap menjadi Indonesia dengan senantiasa berpegang teguh menjadi kekuatan dan modal untuk meraih masa depan bersama yang lebih baik dengan junjungan secara tinggi terhadap kebenaran, kesatuan serta keadilan.

*) Penulis merupakan Penerasi Jogja Sumatera

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *