Oleh Ulil Abshar Abdalla*
Tangerang, TERBITHARIAN.COM – Kiai Aniq Muhammadun, paman saya, adalah “jangkar fiqh” di NU saat ini. Beliaulah yg menjaga agar pembahasan hukum (bahtsul masail) di lingkungan NU tetap “on track”, konsisten dengan aqwal atau pendapat para ulama klasik, tidak “neka-neka”.
Beliau tidak anti perubahan, tetapi menghendaki perubahan dalam “pace” atau kecepatan yang sesuai dengan tradisi kita. Beliau adalah contoh yang baik sekali dari profil ulama sebagai “custodian of change” sebagaimana pernah ditulis oleh Muhammad Qasim Zaman, seorang profesor ahli Islam di Universitas Princeton, AS, dalam bukunya yang sudah menjadi klasik: “The Ulama in Contemporary Islam”.
Dalam fiqh, Kiai Aniq berada di jalur “galak”, melanjutkan tradisi dan jalan Kiai Bisri Syansuri dari Denanyar Jombang. ” Galak” di sini dalam pengertian positif, yaitu komitmen yang mendalam pada tradisi, dan tidak mudah hanyut dalam euforia perubahan tanpa seleksi yang ketat.
Salah satu kasus aktual yang paling terakhir adalah debat soal penyembelihan “dam tamattu‘”, atau hewan yang harus disembelih karena seseorang melakukan haji tamattu’, yaitu haji yang diawali dengan umrah dan tahallul, baru dilanjutkan dengan haji setelah saatnya tiba.
Disebut haji tamattu’ karena ia ringan (tamattu’: enak-enakan), berbeda dengan haji ifrad yang cukup berat. Karena ringan, maka ada dendanya, yaitu menyembelih hewan yang disebut dengan “dam” (secara harafiah artinya darah).
Mayoritasnya jamaah haji di seluruh dunia sejak dulu cenderung melakukan haji tamattu’, karena ini memang jenis haji yg disunnahkan. Berdasarkan data pemerintah Saudi Arabia tahun lalu (2024), total jamaah haji sekitar 1,8 juta. Jika mayoritas dari jumlah ini melakukan haji tamattu’, berarti sekurang-kurangnya ada lebih dari dari juta hewan (kambing) yang harus disembelih.
Ini tentu merepotkan dari segi manajemen pengadaan dan penyembelihan, plus distribusi. Sebab daging ini harus dibagikan kepada mereka yang butuh, tidak boleh dijual. Sementara penduduk Saudi di sekitar Mekah hidup makmur. Lalu mau diapakan daging-daging ini?
Muncullah inisiatif untuk menyembelih dan membagikan kambing dari jamaah haji tamattut’ ini di tanah airnya masing-masing. Bolehkah hal ini dilakukan? Inilah yang menjadi salah satu pembahasan dalam forum Munas NU kemaren di Jakarta.
Jika mengikuti hukum fiqh yang ada, hewan dam ini harus disembelih dan dibagikan di tanah “haram”, sebuah kawasan dengan radius tertentu di Mekah (tidak semua bagian di kota Mekah masuk dalam kategori tanah “haram” ini). Ini adalah pendapat “jumhur” atau mayoritas ulama dari semua mazhab.
Ada qaul atau pendapat yang “marjuh” (tidak kuat) yang membolehkan menyembelih dam di luar tanah haram, jika dalam keadaan darurat; hanya saja dagingnya harus dibagikan di tanah haram. Kiai Aniq konsisten pada pendapat jumhur ini hingga detik-detik terakhir dalam Munas kemaren.
Meskipun sebagian kiai NU, terutama kiai-kiai muda, cenderung untuk membolehkan menyembelih dam dan membagikannya di luar tanah haram, terutama di tanah air sendiri. Ini lebih maslahat bagi negeri kita. Kemenag RI juga menginginkan solusi ini.
Saya berpandangan, Kiai Aniq amat diperlukan. Menurut saya, di NU harus ada kiai-kiai seperti ini, para “jangkar” dan “pekuncen tradisi” (custodian of change). Jika semua kiai di NU cenderung “gampangan” dalam hukum, berbahaya. Jika memakai teorinya Imam Abdul Wahab al-Sya’rani seperti tergambar dalam kitab “Al-Mizan al-Kubra“, harus ada kiai yang menempuh jalan “al-ihtiyath” (hati-hati), ada pula yang mengambil jalan “al-taisir” (memudahkan).
*) Penulis merupakan Ketua Penguru Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)