Oleh Matroni Muserang*
TERBITHARIAN.COM – Menyalahkan curah Hujan berarti anda menyalahkan Allah sebagai pemberi dan pencipta curah hujan. Sebelum “menyalahkan” curah hujan, mari berbaiki paradigma (manhaj) kita melihat dan membaca bencana yang terjadinya bila musim penghujan datang di negeri yang “katanya” mayoritas muslim. Termasuk bencana korupsi dan sederet peristiwa bencana lingkungan yang terus menimpa dan menghiasi wajah bangsa Indonesia. Ada problem paradigma paling fundamental yang harus dibenahi, sebelum kita kritis terhadap problem bencana.
Mari kita mulai dari kitab suci sebagai panduan hidup dalam perjalanan hidup manusia sehari-hari. Kita temukan banyak bahkan over dalam pengajian-pengajian, majelis taklim, ceramah agama, kuliah subuh di televisi dan masjid-masjid serta mushallah.
Bahkan di rumah-rumah, belum lagi menggunakan media elektronik dan menyetir “teks teks” kitab suci, baik secara langsung maupun menggunakan penafsiran para ulama atau mufassir terdahulu. Bahasa dan proposisi yang digunakan menjadi acuan dari jaman ke jaman untuk memandu, dan membentuk prilaku hidup muslim Indonesia bahkan dunia.
Yang menjadi problem atau keraguan (doubt/syakk) adalah bahwa kitab suci itu terbatas (al-Nushush mutanahiyah). Sedangkan bencana, realitas dan agama terus berkembang (wa al-waqa’ ghairu mutanahiyah) di luar kontrol ulama dan kiai. Lalu bagaimana menghubungkan antara yang terbatas dan yang tidak terbatas? Belum lagi jika dipertimbangkan jarak antara 1400 tahun yang lalu? Adakah patokan metode dan pendekatan, sehingga tidak di intervensi oleh manusia?
Seandainya aktifitas penafsiran itu dihentikan, berhenti apalagi sampai dilarang, maka masyarakat akan mengalami kemandegan, kebuntuan, dan kejumudan dalam berpikir dan beragama, lalu buat lembaga pendidikan. Maka alasan menggunakan curah hujan itu merupakan salah satu tanda dari kemandegan, kebuntuan dan kejumudan dalam berpikir.
Oleh karenanya agar tidak terjadi stagnasi dan kejumudan dalam berpikir dan beragama, maka sudah saatnya pergerseran paradigma atau paradigma kontemporer yang bercorak progresif dalam beragama perlu dipertimbangkan bahkan sangat mendesak untuk segera diberlakukan.
Sebab sampai detik ini masih banyak manusia muslim yang ragu bahkan takut untuk melangkah maju untuk melakukan penafsiran dan reinterpretasi yang telah ditafsirkan oleh ulama terdahulu. Misalnya ada bisikan dari ulama klasik ketakutan dan keraguan adalah barang siapa yang berani-berani menafsirkan al-Qur’an dengan akalnya, maka bersiaplah tempat duduknya di neraka yang sampai sekarang masih membekas bahkan menghantui jalan pikiran umat muslim.
Akibatnya kita lebih nyaman dan berlindung di bawah payung otoritas tafsir-tafsir terdahulu tanpa ada catatan kritis yang diperlukan untuk mengambil resiko berinisiatif menafsirkan disesuaikan dengan konteks kekinian dan kemajuan berpikir umat manusia yang juga berubah dan berkembang.
Realitas (al-Waqi’)
Untuk kondisi sekarang dengan horizon cara berpikir berubah-berkembang dan bertindak masa kini, maka penafsiran dan pembacaan memang harus berubah. Realitas dewasa ini terjadinya berbagai kerusakan lingkungan, akibat banyaknya pengundulan hutan, penggelontoran limbah industri secara sembarangan yang meresap ke tanah sebagian ke laut, zat buang kendaraan bermotor yang mengutori udara.
Belum lagi dikait-hubungkan dengan realitas masa lalu dan masa kini, dengan berbagai perubahan dan perkembangan pendidikan (the rise of education), perkembangan sosial budaya, hubungan internasional, PBB, perkembangan sains dan teknologi, industrialisasi, hilirisasi, tata kelola ekonomi, tata kelola sistem pemerintahan.
Dalam hal ini realitas merupakan seluruh perkembangan sejarah peradaban manusia secara utuh dan menyeluruh. Seperti budaya material, teknologi, ilmu pengetahuan, organisasi sosial-keagamaan, sistem ekonomi, politik, hukum, bahasa, adat istiadat, tradisi, seni, ideologi, agama, kesehatan, pengobatan penyakit, dan perubahan sosial yang ini terus menjadi bahan realitas manusia, sehingga kita mau tidak mau harus benar-benar inklusif dalam paradigma keagamaan, jika tidak kita akan menjadi manusia yang kagetan melihat bencana dan perubahan tersebut.
Baru berpikir jika ada bencana, tanpa ada upaya pemikiran yang sistematik untuk membaca kemungkinan realitas perjalanan itu arahnya kemana, padahal kalau kita mau berpikir kritis dengan menggunakan paradigma kontemporer ritual bencana itu bisa dilacak dan tugas manusia adalah mencegah sedini mungkin terjadinya bencana.
Misalnya bendungan dan tanggul bukan dijadikan proyek an sich, akan tetapi semua bendungan atau tanggul yang dibangun itu dirawat untuk mencegah bencana banjir dan longsor. Perawatan jalan, rabat beton, aspal di desa-desa yang saya masih jauh dari kuat dan kokoh, entah kenapa jalan di desa itu terlalu banyak gelombangnya? Tentu ini akibat cara berpikir yang masih sempit membaca teks dan konteks.
Agama
Kalau agama bentuknya adalah kitab suci, maka bagaimana cara agama atau teks berbicara pada manusia kontemporer yang diselimuti dengan berbagai perubahan, perkembangan dengan berbagai cara pandang, gaya hidup yang cukup beragam bahkan bagaimana teks berbicara pada bencana (realitas), disinilah pentignya tafsir progresif yang segar dan mampu menjawab tantangan kekinian.
Belum lagi kita belum selesai dengan wacana makna agama. Ada yang menjawab makna agama itu adalah aqidah, agama itu ilmu, agama itu cara berpikir. Kalau kita mengacu pada realitas di atas, jelas kita belum beranjak dari cara pikir ke-klasik-an ke cara berpikir kontemporer, cara beragama kita masih klasik, paradigma agama kita masih klasik, oleh karenanya penting untuk melibatkan teks, realitas dan kesadaran kata Amin Abdullah.
Tentu teks itu adalah kitab suci yang memang ada, otonom, dicetak dalam jumlah yang banyak dalam bentuk mushaf. Sebagai teks ia diam, tidak dapat berkata dan berbicara sendiri, tidak berkata apa-apa dan dan tidak mampu berbunyi sendiri, teks itu baru bisa berbicara, berbunyi, membentuk pola pikir, bila dibunyikan, ditafsirkan oleh mufassir. Maka posisi penafsir disini sangat sentral.
Kesadaran
Ketika bencana sebagai sebuah realitas yang tak terbatas, karena selalu berubah sesuai perkembangan dan pengalaman manusia yang berakibat pada perubahan zaman, maka kesadaran, wawasan, cara berpikir, bekal ilmu pengetahuan manusia sangat penting dan perlu di up date dengan mengacu pada perkembangan jaman dan ilmu pengetahuan yang cukup berperan penting dalam menentukan cara berpikir, bahkan gaya berpikir yang terus dinamis.
Kesadaran, pengalaman, masukan, keluasan pergaulan dan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh kita atau penafsir itu membentuk wawasan seseorang. Semakin sempit, maka semakin sempit pula cara berpikir kita dan hasil tafsirnya pun sempit dan terbatas, begitu pun seterusnya.
Karena kita bisa melacak dari bahan bacaan (cross reference) yang kaya, maka hasil tafsirnya pun akan luas dan kaya. Maka penting bagi muslim Indonesia atau muslim Madura melakukan pergaulan yang multi-,inter,- dan transdisiplin, maka kemaren sempat “viral” Madura belum kemana-mana, saya sepakat dalam konteks pemikiran memang belum kemana-mana.
*Dosen Filsafat STKIP PGRI Sumenep, tinggal di Sumenep