Abdul Hakim
Pengajar Studi Perbandingan Politik
STISNU Nusantara Tangerang
TERBITHARIAN.COM – Nama Hercules Rosario Marshal dan organisasi massa Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya kembali menjadi sorotan dalam diskursus publik, menyusul sejumlah peristiwa yang melibatkan kekerasan dan konfrontasi, termasuk pembakaran kendaraan bermotor yang disertai penganiayaan terhadap aparat kepolisian, penyegelan sebuah pabrik, dan ancamannya untuk mengerahkan massa ke Gedung Sate sebagai respons atas pembentukan Satgas Anti-premanisme oleh Gubernur Jawa Barat yang juga kader Partai Gerindra, Dedi Mulyadi, menunjukkan adanya paradoks internal: konflik yang terjadi bukan hanya antara ormas dan negara, tetapi juga dalam tubuh kekuasaan yang menjadi patron mereka. Pernyataan Hercules yang menyebut Letjen TNI (Purn) Sutiyoso sebagai “bau tanah” dan menyampaikan sikap tidak hormat terhadap mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, memperlihatkan resistensi terhadap otoritas negara yang tidak sesuai dengan orientasi kekuasaan dan loyalitas kelompoknya.
Rangkaian tindakan tersebut tampaknya tidak dapat dipisahkan dari figur Presiden Prabowo Subianto, yang dalam narasi internal GRIB Jaya diposisikan sebagai sosok paternalistik dan disebut secara eksplisit sebagai “ayah” oleh para anggotanya. Hercules tampaknya menyimpan keyakinan terhadap adanya kedekatan historis dan emosional yang bersifat istimewa antara dirinya dan Prabowo Subianto—sebuah bentuk relasi yang diasumsikan sebagai utang budi atau patronase politik, meskipun kebenaran faktual dari anggapan tersebut tidak dapat diverifikasi secara empiris. Persepsi tersebut telah membentuk suatu rasa kepercayaan diri yang tinggi dalam bertindak, yang bersumber dari asumsi adanya dukungan kekuasaan di balik tindakan mereka.
Secara historis, Hercules merupakan seorang pemuda asal Timor Timur (kini Timor Leste) yang pada dekade 1980-an direkrut oleh dua perwira tinggi militer, yakni Prabowo Subianto dan Zacky Anwar Makarim, untuk kemudian dibawa ke Jakarta. Proses ini, sebagaimana dicatat oleh Ian Wilson, merupakan bagian dari strategi militer yang lebih luas dalam konteks operasi politik dan sosial, yaitu untuk mengintegrasikan kelompok marginal dari Timor ke dalam struktur sosial-politik Indonesia sebagai bentuk kompensasi atas kesetiaan mereka terhadap integrasi nasional. Dalam konteks tersebut, Hercules tidak sekadar dilihat sebagai individu, melainkan sebagai representasi dari sebuah model relasi patron-klien yang dikembangkan negara melalui militer, di mana kekuasaan negara dijalankan melalui jejaring loyalitas informal yang beroperasi di ranah jalanan dan organisasi masyarakat sipil.
Dalam lanskap organisasi massa dan relasi kuasa di Indonesia pasca-Orde Baru, nama Hercules GRIB Jaya kembali menjadi perhatian publik setelah keterlibatan mereka dalam sejumlah aksi kontroversial. Di antaranya adalah penyegelan sebuah pabrik di Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah, yang disertai pemasangan spanduk bertuliskan penghentian operasional atas nama DPD GRIB Jaya Kalimantan Tengah. Aksi ini diklaim sebagai bentuk solidaritas terhadap seorang warga yang belum menerima pembayaran sebesar Rp1,4 miliar dari pihak pabrik. Namun, tindakan tersebut menuai kecaman keras dari Gubernur Kalimantan Tengah, Agustiar Sabran, yang menegaskan bahwa “ini bukan negara ormas”, serta dari Kapolda Kalimantan Tengah, Irjen Pol Iwan Kurniawan, yang menyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum yang akan ditindak tegas.
Kasus tersebut membuka kembali pertanyaan mendasar mengenai figur Hercules dan dinamika relasi kekuasaan informal yang melibatkan dirinya. Ian Douglas Wilson mencatat bahwa Hercules mengakui dirinya “berutang nyawa” kepada Prabowo Subianto, serta menyebut mantan patron militernya itu sebagai “satu-satunya orang yang bisa memukul saya tanpa saya balas.” Pengakuan ini menandai bukan hanya hubungan personal, tetapi juga bentuk afeksi subordinatif yang bersifat simbolik, di mana kekerasan fisik sekalipun dapat dimaknai sebagai wujud kedekatan dan loyalitas. Hubungan emosional semacam ini ditegaskan pula oleh Marcel Gual, Kepala Bidang Media dan Publikasi DPP GRIB Jaya, yang menyatakan bahwa GRIB Jaya tidak menjual nama Prabowo, melainkan memiliki kedekatan relasional yang otentik. Namun, dalam konteks politik patronase, pernyataan tersebut menunjukkan bagaimana hubungan informal dengan elite politik digunakan sebagai modal simbolik sekaligus protektif dalam manuver organisasi massa.
Kasus ini mencerminkan eksistensi apa yang disebut Pierre Bourdieu sebagai ‘capital social’ (modal sosial), yakni jaringan relasi yang memberi akses pada sumber daya dan legitimasi kekuasaan. Hercules, dalam konteks ini, bukan hanya beroperasi sebagai figur preman, tetapi juga sebagai aktor dalam jejaring kekuasaan yang kompleks, di mana loyalitas dan kekuatan jalanan dijadikan alat negosiasi terhadap otoritas formal negara. Ketika GRIB Jaya menyegel pabrik atau mengancam akan mengerahkan ribuan anggota ke institusi pemerintah, tindakan tersebut merupakan ekspresi dari ‘claim-making’ atas ruang publik, yang dalam studi Charles Tilly, merepresentasikan strategi kolektif dalam memperjuangkan atau mempertahankan hak, pengaruh, dan eksistensi.
Dalam konteks ini, Hercules dan GRIB Jaya tidak dapat hanya dipahami sebagai entitas premanistik, tetapi juga sebagai aktor dalam dinamika ‘post-authoritarian power brokerage’, yakni peran informal yang dimainkan oleh kekuatan-kekuatan sipil semi-legal dalam proses pembentukan dan pengawalan kekuasaan politik. Hal ini tercermin dari keterlibatan Hercules dalam konflik fisik antar-ormas seperti dengan Pemuda Pancasila di Blora dan Bandung, serta dari rekam jejak hukum yang menunjukkan kecenderungan pelanggaran atas berbagai norma negara: dari kasus pemerasan, pencucian uang, hingga penyerangan kantor media.
Pada tahap awal kehidupannya di Jakarta, Hercules memulai karier dari sektor informal dengan bekerja di sebuah bengkel bersama rekan-rekannya sesama pendatang dari Timor Timur (Timtim). Namun, rendahnya imbalan kerja mendorongnya untuk beralih profesi menjadi pedagang rokok di kawasan Tanah Abang. Dalam proses mobilitas sosial yang khas bagi kelompok marginal urban, Hercules mengalami konflik dengan preman lokal yang menguasai wilayah tersebut. Meskipun demikian, keberaniannya melawan balik, sering kali dengan menggunakan senjata tajam sebagaimana dicatat oleh Wilson, menandai awal pembentukan reputasi kekerasannya di lingkungan tersebut.
Seiring waktu, Hercules berhasil membangun basis pengikut yang loyal, yang menjadikannya pemimpin informal dalam jejaring kekuasaan premanisme perkotaan. Tidak hanya aktif dalam aktivitas kekerasan jalanan, Hercules dan kelompoknya disebut secara rutin dimobilisasi oleh rezim Orde Baru untuk mengintimidasi dan menghadang aksi demonstrasi kelompok pro-kemerdekaan Timtim di Jakarta. Hal ini menunjukkan relasi patron-klien yang khas antara negara otoriter dan aktor non-negara yang mengandalkan kekerasan sebagai alat politik, sebagaimana dianalisis dalam teori-teori tentang negara bayangan dan milisi urban.
Namun demikian, dominasi Hercules di Tanah Abang mulai terganggu akibat fragmentasi internal dalam kelompoknya, meningkatnya resistensi sosial terhadap metode kekerasan yang digunakannya, serta serangan dari kelompok preman pesaing. Pada tahun 1997, ia akhirnya diusir dari Tanah Abang, sebuah titik balik yang menandai transformasi strategi kekuasaan dari dominasi teritorial ke penetrasi dalam ranah politik formal.
Pasca-eksodus dari Tanah Abang, Hercules merelokasi pusat aktivitasnya ke sekitar kawasan Jalan Rasuna Said dan sempat tinggal di Indramayu, Jawa Barat. Dalam fase ini, ia membangun kembali kekuasaan ekonominya melalui jasa penagihan utang, pengamanan swasta, dan perantara dalam transaksi pertanahan, terutama untuk melayani kebutuhan elite bisnis dan politik Jakarta. Praktik ini mencerminkan fenomena kapitalisme patronase dan informalitas ekonomi-politik yang kerap ditemui dalam literatur tentang hibriditas negara di Asia Tenggara, di mana aktor-aktor non-negara memainkan peran strategis dalam ekonomi ekstraktif dan politik informal.
Keterlibatannya dalam politik semakin menguat ketika ia merapat kembali kepada sosok yang disebut sebagai patron militer masa lalunya, Prabowo Subianto. Pada tahun 2012, ia mendirikan organisasi massa (ormas) Gerakan Rakyat Indonesia Baru (GRIB), yang menurut catatan Wilson, dibentuk dengan tujuan politis untuk mendukung pencalonan Prabowo sebagai presiden. GRIB berfungsi sebagai lengan operasional Partai Gerindra, merekrut anggotanya dari jaringan preman, mantan militer, milisi sipil, kelompok seni bela diri, dan penguasa lokal yang memiliki koneksi dengan Hercules dan Prabowo.
Peresmian kantor pusat DPP GRIB oleh Prabowo di Jakarta Barat pada tahun 2012 menjadi simbol legitimasi hubungan ini. Dalam sambutannya, Prabowo menyampaikan harapan agar GRIB dapat menjadi kekuatan sipil yang memberdayakan masyarakat tertindas, bukan menebar ketakutan seperti beberapa ormas lainnya. Dalam konteks ini, retorika politik digunakan untuk mengaburkan potensi kekerasan struktural dari organisasi massa tersebut.
Pidato Hercules pada kesempatan tersebut menegaskan orientasi GRIB sebagai kekuatan pendukung elektoral Gerindra dalam Pemilu 2014. Ia secara eksplisit menyatakan dukungan kepada Prabowo untuk memenangkan pemilihan presiden. Namun demikian, Sekretaris Jenderal GRIB Jaya, Zulfikar, menegaskan bahwa Prabowo secara formal tidak termasuk dalam struktur organisasi GRIB Jaya. Ia menyebut hubungan antara Hercules dan Prabowo sebagai relasi emosional dan simbolik yang menyerupai hubungan antara ayah dan anak, mencerminkan personalisasi relasi politik dalam budaya organisasi politik Indonesia kontemporer.
Pemilihan Presiden 2014 menjadi panggung awal bagi organisasi massa Gerakan Rakyat Indonesia Baru (GRIB) untuk menunjukkan peran politiknya secara terbuka dalam mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai presiden. Dalam analisisnya, Wilson mencatat dua fungsi utama yang diberikan Prabowo kepada GRIB, yang merepresentasikan pendekatan politik bergaya kontra-insurgensi agresif khas Prabowo:
(1) sebagai kekuatan lapangan di tingkat akar rumput untuk mendistribusikan bantuan dan makanan gratis kepada kelompok miskin, Metta
(2) sebagai alat kooptasi terhadap pemimpin-pemimpin lokal seperti tokoh agama, kepala desa, dan aktor informal lainnya.
Melalui strategi tersebut, GRIB berhasil menghimpun loyalitas dari kalangan preman dan ormas. Hal ini mencerminkan model relasi patron-klien dalam politik elektoral Indonesia, di mana tokoh elite menggunakan jaringan informal sebagai perpanjangan tangan kekuasaan untuk memobilisasi dukungan politik. Akan tetapi, ekspansi politik Hercules—pendiri GRIB—terhambat ketika pada 2013 ia ditangkap oleh pihak kepolisian dalam operasi anti-premanisme. Hercules dihadapkan pada ultimatum: menghentikan aktivitas politik melalui GRIB dan kembali ke dunia bisnis atau menghadapi proses hukum. Ia memilih loyal kepada Prabowo dan akhirnya dipenjara selama empat bulan. Setelah pembebasan singkat, ia kembali ditahan dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara. Kejatuhan ini berdampak langsung pada keruntuhan jejaring GRIB dalam Pilpres 2014 yang berakhir dengan kekalahan Prabowo dari Joko Widodo.
Pasca-pembebasan, Hercules mengganti nama organisasinya menjadi GRIB Jaya dan kembali aktif dalam kampanye Prabowo, baik pada Pilpres 2019 maupun 2024. Dalam pernyataan publiknya tahun 2024, Hercules menegaskan loyalitas mutlak GRIB Jaya terhadap Prabowo, bahkan menyatakan akan memecat anggota yang tidak mendukung sang kandidat. Ia juga menegaskan bahwa GRIB Jaya telah mendukung Prabowo sejak Pilgub DKI Jakarta 2017, termasuk saat Prabowo mendukung pasangan Jokowi-Ahok, dan menyebut GRIB Jaya sebagai ormas independen.
Kebangkitan kembali Hercules dan GRIB Jaya tak terlepas dari naiknya posisi Prabowo dalam struktur kekuasaan negara. Kehadiran kembali Hercules merupakan respons terhadap kekuatan simbolik dan institusional Prabowo, khususnya sejak menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan terlebih lagi saat menjadi presiden. Hercules memiliki persepsi subjektif atas relasi patron-klien historis dengan Prabowo, yang memberikannya legitimasi moral untuk tampil kembali ke ruang publik. Keterlibatan Hercules dalam berbagai momentum elektoral Prabowo memberi alasan kuat bagi dirinya untuk menampilkan eksistensinya setelah sang patron berhasil merebut tampuk kekuasaan. Meski eksistensi ormas seperti GRIB Jaya adalah bagian dari hak asosiasi, negara wajib bertindak tegas jika aktivitas ormas tersebut melanggar hukum atau mempraktikkan kekerasan dan premanisme.
Pihak GRIB Jaya, Kabid Media dan Publikasi Marcel Gual mengakui adanya hubungan emosional antara Hercules dan Prabowo. Namun ia menolak tuduhan bahwa GRIB Jaya menunggangi nama Prabowo sebagai beking politik. Menurutnya, dukungan GRIB Jaya kepada Prabowo merupakan bentuk tanggung jawab moral dan dedikasi terhadap cita-cita kepemimpinan yang berpihak kepada rakyat. Dalam praktiknya, GRIB Jaya juga mengklaim turut menyukseskan program-program prioritas Prabowo seperti makan bergizi gratis, pemberantasan korupsi, dan mafia tanah.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana organisasi informal dan jejaring preman bisa bertransformasi menjadi entitas semi-politik yang menjembatani antara dunia kekuasaan dan akar rumput, meski tetap berada dalam zona abu-abu legalitas. Keberadaan GRIB Jaya merefleksikan kompleksitas hubungan antara kekuatan negara, masyarakat sipil, dan struktur informal dalam demokrasi patronal yang belum sepenuhnya terkonsolidasi.
Fenomena kedekatan antara organisasi kemasyarakatan (ormas) dengan elite militer atau penguasa merupakan pola relasi kekuasaan yang telah terbentuk sejak era Orde Baru dan berlanjut hingga periode awal reformasi. Dalam konteks ini, ormas bukan hanya berfungsi sebagai entitas sosial yang mandiri, melainkan sebagai instrumen strategis dalam menjaga stabilitas politik melalui pengendalian atas kelompok masyarakat yang dianggap potensial sebagai kekuatan oposisi.
Sejumlah ormas dipelihara oleh negara, bahkan ketika mereka memiliki rekam jejak tindakan premanisme atau menciptakan keresahan sosial. Hal ini didasarkan pada kalkulasi kekuasaan yang memanfaatkan aktor non-negara untuk meredam ekspresi resistensi dari kelompok akar rumput (grassroots), yang secara historis sering kali menjadi basis kritik terhadap pemerintah.
Analisis ini memperlihatkan praktik penggunaan kekuatan informal oleh rezim penguasa untuk mempertahankan hegemoninya, sebagaimana dijelaskan dalam teori ‘clientelism dan proxy politics’. Dalam konfigurasi ini, negara membangun aliansi dengan aktor-aktor sosial yang secara simbolik maupun struktural memiliki akses ke ruang publik dan kekuatan koersif, guna menciptakan kontrol tidak langsung atas masyarakat.
Lebih lanjut, adanya simbiosis mutualistik antara ormas dan penguasa. Ormas memperoleh keuntungan tidak hanya berupa status sosial dan legitimasi, tetapi juga akses terhadap sumber daya ekonomi dan kekuasaan simbolik. Dengan dukungan negara atau elite politik tertentu, ormas memperoleh posisi sosial yang lebih tinggi di mata publik, sekaligus memperoleh imunitas dari penegakan hukum dalam batas tertentu.
Tidak sedikit ormas di Indonesia dibentuk secara top-down oleh elite politik, figur publik, atau aktor berkepentingan lainnya. Ormas jenis ini lebih sering menjadi alat artikulasi kepentingan sempit, baik dalam ranah ekonomi maupun politik, ketimbang memperjuangkan aspirasi kolektif masyarakat secara otentik. Ormas semacam ini tidak memenuhi syarat sebagai gerakan sosial progresif karena kehilangan karakteristik partisipatif, demokratis, dan emansipatoris. Sebaliknya, mereka dapat digolongkan sebagai ‘state-sponsored populism’ atau bahkan sebagai manifestasi dari ‘contentious politics’ yang dimobilisasi dari atas untuk mempertahankan struktur dominasi politik yang eksklusif.
Fenomena ini menegaskan bahwa dinamika ormas di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari struktur politik patronal yang memungkinkan relasi kuasa informal berkembang di luar mekanisme demokrasi formal. Dalam kerangka neopatrimonialisme, kekuasaan disalurkan melalui jaringan loyalitas pribadi, bukan melalui institusi formal yang transparan dan akuntabel. Dengan demikian, keberadaan ormas yang berafiliasi dengan kekuasaan mencerminkan keterjebakan dalam praktik ‘instrumental democracy’, di mana aktor-aktor non-negara digunakan sebagai perpanjangan tangan kepentingan elite, alih-alih sebagai mitra kritis dalam pembangunan demokrasi substantif.